Pada tahun 1888, pembunuh berantai
paling terkenal sedunia berkeliaran di jalan-jalan yang kumuh dan gelap di ujung timur
London. 'Jack The Ripper' alias 'Jack si Perobek', adalah pesohor pembunuh
massal tulen, dan menciptakan tren bagi para maniak pembunuh yang tampaknya
semakin menjamur setiap tahunnya. Misalnya, ketakutan yang menyelimuti
insiden-insiden penembak misterius di Washington yang terjadi belakangan ini
memiliki banyak kesamaan dengan teror yang diciptakan oleh nenek moyang para
penjahat yang gemar melakukan pembunuhan ini. Dalam kasus-kasus semacam ini,
dampak dari tindakan kriminak ini semakin dipertinggi oleh misteri yang
menyelimuti identitas sebenarnya dari sang pembunuh. Tidak seperti banyak
penirunya dari zaman modern, Jack the Ripper tidak pernah tertangkap, bahkan tidak
pernah diketahui nama aslinya, dan hingga saat ini jati dirinya belum pernah
terbukti dengan pasti.
Distrik Whitechapel London dikenal sebagai salah satu
daerah termiskin di kota itu, dan pada waktu itu, menjadi tempat berkumpulnya
pelacur yang jumlahnya lebih dari 1000 orang. Itu juga merupakan area yang
menjadi fokus serangan Jack the Ripper. Tercatat bahwa dia mulai menebar
teror pada 31 Agustus 1888 pagi, ketika seorang pengangkut
barang di pasar melihat seorang wanita yang terkapar di dekat pintu Buck's Row
di Whitechapel. Sang pengangkut barang tidak segera mendekati wanita itu,
tetapi dia lebih dulu melapor ke polisi. Ketika dia tiba di tempat kejadian,
dia melihat leher wanita itu mengalami luka sayatan yang dalam, dan pemeriksaan
medis yang dilakukan belakangan mendapati bahwa tubuh wanita itu telah di mutilasi. Identitas wanita itu juga ditemukan: dia adalah Mary Ann Nichols yang dikenal dengan
nama panggilan 'Polly', seorang pelacur berusia 42 tahun.
Sekitar seminggu kemudian, pada 8 September pukul 6 pagi,
jasad seorang wanita lainnya ditemukan di jalan Hanbury, dekat Buck's Row. Dia
adalah Annie Chapman seorang pelacur berusia 45 tahun, yang kepalanya nyaris
terpisah dari lehernya, perutnya robek dan isinya terburai keluar.
Ketakutan itu mulai merebak di seluruh komunitas itu.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, orang-orang memiliki publik yang rajin
mengikuti perkembangan informasi terkini dan pers yang giat melakukan
investigasi, yang membuat polisi merasa di bawah tekanan dalam bentuk yang
baru. Para polisi tidak tidak hanya berkewajiban untuk melindungi warga London,
tetapi mereka juga harus menghadapi tekanan jenis baru untuk untuk membuktikan
kompetensi mereka sendiri. Seperti dalam kasus-kasus pembunuhan berantai
modern, dampak dari perkiraan, mitos-mitos dan desas-desus dalam pemberitaan
dalam liputan di surat kabar menimbulkan keresahan yang sangat mencekam.
Ketika Jack the Ripper menyerang kembali, minta warga di
area Whitechapel hanya terpusat pada satu hal. Jack the Ripper tidak kecewa. Pada 30 September
dini hari, seorang penjaja perhiasan untuk kostum pulang ke rumahnya di
jalan Berners, di sana dia menemukan mayat Elizabeth Stride, seorang pelacur yang lehernya tergorok. Polisi bergegas mendatangi lokasi kejadian dan memeriksa
jalan-jalan di sekitarnya, Jack the Ripper mengalihkan sasarannya ke Mitre
Square, di kota London, dan menghabisi nyawa Catharine Eddowes. Meskipun korban
the Ripper yang sebekumnya tidak dimutilasi, banyak orang yang meyakini bahwa the Ripper
kepergok tengah melakukan aksi sadisnya. Mayat Eddowes dalam kondisi yang kurang bagus, dan didapati bahwa
isi perutnya sudah terburai.
Malam itu dikenal
sebagai ‘peristiwa ganda’ dan menjadi fokus dari banyak surat yang dilayangkan
kepada polisi. Meskipun sebagian besra surat itu datang dari anggota masyarakat
yang menawarkan saran-saran, beberapa orang menduga bahwa ada surat-surat
tertentu yang kemungkinan besar berasal dari Jack the Ripper sendiri. Salah satu
surat yang tertanggal 28 September bernada mendorong dan menggoda polisi, dari
situlah muncul julukan Jack the Ripper,
sesuai dengan tanda tangan si pengirim surat. Yang kedua datang dalam bentuk
kartu pos yang tertanggal 1 Oktober dan menyinggung masalah ‘peristiwa ganda’
pada malam sebelumnya. Surat ketiga dikirim via pos 14 hari kemudian, bahkan
bersama surat itu disertakan bagian dari sebuah ginjal yang menurut pengakuan
si pengirim itu diambil dari tubuh Catharine Eddowes. Meskipun polisi
mencurigai bahwa kemungkinan surat-surat itu dikirim oleh orang eksentrik yang
terobsesi dengan kasus Jack the Ripper, atau mungkin bahkan dari orang iseng
yang mencoba mempermainkan polisi, ginjal yang disertakan pada surat yang
ketiga itu sudah mengkerut dan memperlihatkan tanda-tanda adanya penyakit. Fakta
menariknya adalah bahwa almarhumah Eddowes itu bukan hanya seorang pecandu alcohol,
tetapi dia juga menderita penyakit Bright, dan ginjal ini menunjukkan semua
tanda-tanda bahwa itu diambil dari tubuh orang yang sakit.
Polisi yakin bahwa mereka telah
menemukan suatu pola dari serangkai pembunuhan untuk pertama kalinya terjadi
pada 31 Agustus, yang kedua pada 8 September, sedangkan yang ketiga dan keempat
pada 30 September. Mereka yakin bahwa pembunuhan yang berikutnya akan terjadi
pada 8 Oktober, tetapi ternyata Jack the Ripper tidak beraksi selama sebulan
itu. Pembunuhan terakhirnya yang terjadi pada 9 November di Miller’s Court,
sebuah bangunan yang tidak jauh dari lokasi kejadian pembunuhan-pembunuhan yang
sebelumnya. Jenazah pelacur yang lain, Mary Jane, 24 tahun, ditemukan oleh
pemilik kamar sewaannya, dengan tubuh yang termutilasi total. Kali ini,
pembunuhan itu terjadi di dalam bangunan, dan sepanjang malam sang pembunuh
telah memotong-motong mayat korbannya.
Meskipun diduga bahwa Jack the Ripper
adalah dalang dibalik kelima kasus pembunuhan itu, ada kemungkinan bahwa dia
telah membunuh dua atau tiga wnaita lainnya lagi di London sekitar waktu itu. Akan
tetapi, polisi tidak berhasil mengungkapkan nama asli dari pelaku kejahatan
itu, dan pihak kepolisian pun mengeluarkan kebijakan tentang pembatasan
pengungkapan informasi agar tidak terlalu meresahkan publik. Selain itu, sudah
menjadi rahasia umum bagi warga London bahwa upaya polisi untuk mendapatkan
identitas asli Jack the Ripper itu terbukti tidak membuahkan hasil. Tetapi beberapa
orang dari kalangan penegak hokum memiliki teori mereka sendiri, dan banyak
dokter polisi yang memeriksa tubuh para korban itu berpendapat bahwa
kemungkinan Jack the Ripper pernah mengikuti pelatihan medis. Pada tahun 1894,
polisi menjadi pimpinan di Armada Polisi Metropolitan, Sir Melville Macnaghten,
menulis suatu laporan yang menyatakan bahwa Montague John Druitt, seorang ahli hokum
yang bunuh diri tidak lama setelah kasus pembunuhan Kelly, adalah orang yang
memiliki kemungkinan terbesar sebagai tersangka. Pada waktu itu, Macnaghten
yakin bahwa Druitt juga seorang dokter yang terlatih, tetapi penelitian yang
dilakukan setelah itu membuktikan bahwa dugaan Macnaghten itu tidak benar.
Macnaghten juga menyodorkan dua nama
lain yang diduga sebagai Jack the Ripper. Salah satu dari nama itu adalah Aaron
Kosminski, seorang Polandia keturunan Yahudi yang tinggal di wilayah
Whitechapel dan dimasukkan di rumah sakit jiwa pada bulan Maret 1889. Meskipun salah
seorang kepala tim investigasi, Robert Anderson, memiliki keyakinan yang kuat
bahwa Kosminski adalah tersangka yang selama ini dicari-cari, tetapi perilaku
Kosminski yang tercatat selama dia mendekam di rumah sakit jiwa itu tidak
menunjukkan tanda-tanda yang mengarah pada dugaan bahwa dia adalah seorang
pembunuh berantai. Nama terakhir yang disodorkan Macnaghten, yaitu Michael
Ostrog, adalah seorang Rusia yang sinting. Alih-alih menjadi tersangka perilaku
tindak criminal dan diduga terlatih dalam bidang medis, perilakunya dalam
kondisi-kondisi pengamatan juga tidak mengindikasikan bahwa dia memiliki
kemampuan sebagai pembunuh berantai. Bertahun-tahun kemudian, para peneliti
Jack the Ripper telah memiliki dugaan terhadap Dr. Francis Tumblety, seorang
dokter berkebangsaan Amerika yang terbang meninggalkan London tidak lama
setelah rangkaian pembunuhan itu terjadi. Alih-alih mempertimbangkan
kemungkinan bahwa Tumblety adalah si tersangka yang selama ini diburu, polisi
mencoret nama itu dari daftar penyelidikan mereka.
Seperti banyak misteri lainnya,
identitas Jack the Ripper ini telah menjadi bahan pemikiran para ahli teori
konspirasi. Ini telah membuat orang-orang dari berbagai kalangan para anggota
keluarga kerajaan, para pelayan kerajaan, polisi-polisi berpangkat tinggi,
mata-mata dari Rusia, bahkan para penginjil yang berapi-api dicurigai telah menyembunyikan jati diri Jack
the Ripper. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir ini, ada suatu penelitian
yang dilakukan oleh Patricia Cornwell, seorang penulis novel berlatar belakang
kasus-kasus criminal. Dia merogoh koceknya sendirisebesar $4 juta untuk
melakukan investigasi terhadap kemungkinan adanya keterkaitan antara Jack the Ripper
dengan Walter Sickert, seorang pelukis impresionis yang mungkin memiliki
hubungan dengan Whitechapel sekitar tanggal-tanggal terjadinya pembunuhan
berantai itu. Dua puluh tahun setelah terjadinnya pembunuhan berantai itu,
Sickert membuat serangkaian lukisan yang menggambarkan tentang kematian
pelacur-pelacur yang tewas dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Cornwell telah
menggunakan teknologi-teknologi modern dan pengamatan-pengamatan yang intens
terhadap karya Sickert, sehingga Cornwell yakin bahwa Sickert adalah si
tersangka, dan dia mempertaruhkan repurtasinya terhadap dugaan bahwa Sickert
adalah Jack the Ripper.
Seperti halnya kepolisian Victorian
London, para peneliti modern Jack the Ripper ini pun saling tidak menyetujui
pendapat satu sama lain. Ada begitu banyak orang yang berperilaku buruk yang
berkeliaran di London pada masa itu, sehingga hampir semuanya dapat diduga
memiliki kaitan dengan pembunuhan berantai itu. Seiring berjalannya tahun, kebenaran
itu pun semakin kabur, munculnya dugaan-dugaan tersangka yang berbeda pun
semakin banyak, sementara bukti pasti yang menyimpulkan jati diri Jack the Ripper
itu pun telah menghilang dalam kabut waktu.